farikamaula
Banyak warganet yang komen kalau wajah saya ini sudah sangat Madura. Bahkan, kemaduraan wajah saya melebihi warga aslinya. Ya nggak papa. Di negara demokrasi kita bebas berpendapat apa saja. Ya gimana ya, soalnya kalau pas di Madura emang ada saja cerita uniknya. Memang tidak bisa dipukul rata, karena kongsep culture shock atau bahasa sederhananya "gampang mak jegagik-an" itu bervariasi. Semua yang saya ceritakan di akun ini memang terjadi berdasarkan pengalaman pribadi. Artinya, kalau nggak sama ya wajar saja. Kadang, perbedaan itu bukan untuk dihakimi, tapi untuk dikenali dan atau kalau bisa, dicintai (kecuali kaldu kacang ijo). Salam cinta dari ISWARA (Ikatan Srikandi Wanita Madura)
Mbuh, gimana ceritanya kok dulu saya bisa kepincut sama orang Madura. Yang jelas, kini saya sangat mencintai suami saya dan juga kampung asalnya. Dari rima katanya saja sudah pas banget kan, Jogja-Madura. Sama-sama punya akhiran โaโ. Ibarat artikel, sudah wangun kalau dijadikan judul berita. Saya jadi ingat. Beberapa waktu lalu, teman saya Mala cerita, kalau dia akan menikah dengan orang Madura. โKowe entuk wong Medunten? Gas pol lah,โ jawab saya menyemangati. Mala menimpalinya dengan pertanyaan, โculture shock e opo?โ โUakeh, seng jelas bahasa,โ jawab saya ngegas. Lha gimana, gara-gara saya belum fasih berbahasa Madura, saya kesulitan berbicara. Mendadak ora iso omong-omongan, mulut rasanya seperti terbungkam. Ya terpaksa, kadang pakai body language kalau harus ngobrol sama simbah saya dan boomers Madura lainnya. Saya meminta kepada suami, supaya sedikit-sedikit diajari, kosa kata apa saja yang perlu saya titeni. Minimal saya tahu lah kalau lagi dirasani. Dari bahasa, ternyata saya menemukan banyak kesamaan dengan Jogja. Misalnya, iya-nggeh-รฉngghi, makan-dhahar-dhรขโรขr, nggak-mboten-bhunten dan masih banyak lagi. Kembali ke Mala. Setelah penantian dan pencarian panjangnya, kini Mala resmi menyandang gelar sebagai Cebbhing Madhurรข. Gelar ini menurut saya lebih prestise, alih-alih gelar akademis jalur indomie. Selamat ya Mala, sepertinya kita perlu bikin grup WA Ikatan Istri-Istri Orang Madura atau ISWARA (Ikatan Srikandi Wanita Madura). Saya nggak begitu jago bikin singkatan kata, kalau bikin huru-hara, itu saya juaranya. Atau bisa bikin forum khusus buat kursus bahasa Madura. Lumayan bisa nambah portofolio atau CV buat nglamar kerja.
Kalau kamu belum bermental baja, jangan nikah sama orang Madura Tahun ini adalah tahun kelima saya menyandang gelar ISWARA (Ikatan Srikandi Wanita Madura). Setiap tahunnya, saya nggak pernah skip pulang ke daerah yang menyebut warna hijau itu dengan biru. Plis, yang tahu sejarah ini kasih tahu saya. Culture shock demi culture shock saya taklukkan demi bisa menyandang menantu idaman. Alih-alih jadi pegawai BUMN atau pegawai negeri, wanita Madura lebih dihargai jika memakai perhiasan berkarat tinggi. Kok, bisa? Jujurly, setiap Lebaran, suami saya pasti dicecar dengan pertanyaan โe dhimma emmas binenaโ (mana emas istrinya?) sama simbahnya. Mesti nggak semua, di Madura, rata-rata tolak ukur kesuksesan suami dalam menafkahi ya dilihat dari koleksi perhiasan istri. Jadi, setiap menjelang Lebaran, tabungan emas pegadaia*n yang nggak seberapa itu saya cairkan untuk memenuhi validasi di kampung halaman suami. Sepulang Jogja, emasnya saya kembalikan lagi. Jadi, nyairin tabungan emas pegadaia*n cuma buat nunjukin keberhasilan di hadapan keluarga besar. Kenapa saya lakukan? Ya, untuk memenuhi ekspektasi sosial sama mempertahankan citra diri lah. Ini kalau ketahuan sama Judith Butler, jelas saya bisa diroasting habis-habisan.
Saat suami melamar saya di depan orang tua, saya tahu sebenarnya dia belum benar-benar siap. Begitu juga saya. Tapi yang paling kelihatan belum siap ya jelas keluarga saya. Bukan karena nggak suka, tapi mereka punya banyak bayangan tentang orang Madura yang didapat entah dari mana. Bisa dari tetangga, sinetron, atau cerita-cerita yang mengandung unsur โkatanyaโ. Mitos-mitos tentang Madura yang tersebar di Jogja membuat keluarga saya khawatir akan keselamatan saya. Saya sebut yang paling populer, "Meduro ki opo-opo carokโ. Jargon laris seng ora uwis-uwis. Itulah sebabnya, ibu saya menginginkan saya untuk tetap tinggal di Jogja. Makin hari, saya sadar, sebagian besar ketakutan itu bukan datang dari fakta, tapi dari cerita yang diulang-ulang tanpa jeda. Lucunya, saya yang waktu itu begitu yakin ingin hidup bersama, malah ikut-ikutan mengemas pengalaman awal saya dengan lensa curiga. Sebagai orang Jogja yang memilih menikah dengan orang Madura, saya akui, dalam menuliskan pengalaman culture shock, secara tidak langsung saya juga terjebak dalam stereotip. Ini menjadi pengingat bahwa narasi personal pun bisa membawa bias yang perlu saya evaluasi. Madura memang the real super kalcer pro max, iya lagi iya lagi iya lagi ๐ โโ๏ธ๐ โโ๏ธ๐ โโ๏ธ
Sebagai orang Jogja yang wegah berdamai dengan UMR-nya, pekerja seperti saya mesti pinter cari peluang karier hingga kudu siap banting setir. Karena tahun ini bukan hoki saya di dunia pendidikan, saya sedang mencoba cari pelampiasan biar nggak stres karena kepikiran. Lha gimana, Jam ngajar sebagai dosen luar biasa, suwung alias nggak ada. SK ngajar di-ghosting terus nggak tahu kapan turunnya. Udah gitu nggak keterima jadi mahasiswa S3, ditolak beasiswa pula. Hesssss pokoe anane mung putus asa. Akhirnya, saya putuskan nggak joining trend dulu buat lanjut S3. Sebagai orang yang memiliki ijazah S2 dari kampus ternama, saya pilih jaga warung Madura saja. Sebenarnya ini bukan keinginan pribadi, jelas ini inisiatif suami. Suami yang mencarikan modalnya, saya cukup bantu lewat jalur doa. Fixed, kini saya menggeluti profesi baru. Penjaga warung. Iki jenenge wes dudu dwifungsi, tapi multifungsi. Asalkan bukan jadi buzzer, profesi apa saja saya gas banter. Pesan saya, jangan pernah berharap kaya dari UMR Jogja. Alih-alih kaya raya, malah jadi gila. Bagi yang sedang lewat atau tinggal di Kalasan Raya, kulo aturi mampir di warung kami. Insya Allah belanja hemat, dompet selamat.
Semalam saya ditelpon oleh salah satu mahasiswa saya, sebut saja namanya Rohim. Rohim yang kini aktif menjadi sutradara di Cla-10 ini tiba-tiba mengucapkan keluh kesah yang membuat saya langsung terperangah. โSelama kuliah, kok saya ngerasa nggak dapet apa-apa ya, Mbak. Udah lamar kerja di mana-mana, nggak ada yang nerima.โ Saya paham betul kalau kuliah itu tidak menjamin seseorang bakal jadi apa. Mari kita sepakati dan normalisasi kuliah sebagai ruang mencari ilmu bersama, bukan sekadar tiket masuk dunia kerja. Buktinya, banyak sarjana yang akhirnya bekerja di bidang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan jurusan kuliahnya. Tapi kalau melihat realita dunia kerja sekarang, yang seolah mengharuskan setiap orang punya kualifikasi tinggi, rasanya seperti hidup dalam anomali. Namun bagaimanapun, kuliah tetap penting karena tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan bukan sekadar mencari pekerjaan.
Bagi sebagian orang, Jogja adalah jujugan liburan. Tapi bagi warga aslinya, Jogja adalah medan pertarungan. Tempatnya orang stres kayak saya kerja keras dengan upah pas-pasan. Mengatur penghasilan agar cukup sampai sebulan. Tapi, saya juga nggak mau dikatai menderita hanya karena gajinya UMR Jogja. Nggak terima juga kalau dibilang hidup nelangsa dan pantas jadi objek iba. Jelas bukan karena saya narimo ing pandum, saya hanya ingin bahagia. Bahagia versi saya adalah sesederhana masih bisa jajan di pasar tertua di Jogja. Mencari tanggal pasaran yang bisa menjadi tempat wisata sesungguhnya. Karena di Jogja, kadang bahagia itu bukan soal โpunyaโ, tapi soal โmasih bisaโ. Masih bisa makan, masih bisa jajan, masih bisa cekikikan, dan tentu saja masih bisa bertahan. In this economy, terkadang itu sudah lebih dari cukup.
Saat suami melamar saya di depan orang tua, saya tahu sebenarnya dia belum benar-benar siap. Begitu juga saya. Tapi yang paling kelihatan belum siap ya jelas keluarga saya. Bukan karena nggak suka, tapi mereka punya banyak bayangan tentang orang Madura yang didapat entah dari mana. Bisa dari tetangga, sinetron, atau cerita-cerita yang mengandung unsur โkatanyaโ. Mitos-mitos tentang Madura yang tersebar di Jogja membuat keluarga saya khawatir akan keselamatan saya. Saya sebut yang paling populer, "Meduro ki opo-opo carokโ. Jargon laris seng ora uwis-uwis. Itulah sebabnya, ibu saya menginginkan saya untuk tetap tinggal di Jogja. Makin hari, saya sadar, sebagian besar ketakutan itu bukan datang dari fakta, tapi dari cerita yang diulang-ulang tanpa jeda. Lucunya, saya yang waktu itu begitu yakin ingin hidup bersama, malah ikut-ikutan mengemas pengalaman awal saya dengan lensa curiga. Sebagai orang Jogja yang memilih menikah dengan orang Madura, saya akui, dalam menuliskan pengalaman culture shock, secara tidak langsung saya juga terjebak dalam stereotip. Ini menjadi pengingat bahwa narasi personal pun bisa membawa bias yang perlu saya evaluasi. Madura memang the real super kalcer pro max, iya lagi iya lagi iya lagi ๐ โโ๏ธ๐ โโ๏ธ๐ โโ๏ธ
Berbeda dengan tren perpisahan pada umumnya, kali ini saya ngide bikin warung ala Madura di hari akhir kerja. Ide ini muncul begitu saja tanpa rencana apa-apa. Saya hanya ingin meninggalkan sesuatu yang bisa dikenang selamanya. Begitu pula yang dilakukan oleh teman-teman saya. Alih-alih minta traktiran mereka justru memberikan hadiah untuk saya, entah barang atau makanan. Setelah sekian lama hadir di tengah mereka yang sering saya sambati dan saya tumpangi tawa, rasanya tak cukup kalau hanya pamit lewat kata. Terhitung sudah hampir 7 tahun saya berproses di tempat kerja. Waktu yang tak sebentar. Ibarat anak manusia, usia segitu mulai banyak nanya, sudah bisa menimbang mana yang pantas dipercaya, dan mulai mengenal makna kecewa. Meski dalam prosesnya selalu diwarnai dengan sombat sambat, esok harinya saya tetep mangkat. Tentu saja, pekerjaan yang marai ishtighfar itu juga bisa saya selesaikan sesuai tenggat. Begitulah lika-liku kerja di bawah korporat, kadang bikin semangat, kadang bikin ingin angkat kaki cepat-cepat. Ketika mengundurkan diri, kehilangan gaji itu pasti, tapi berpisah dengan sahabat sejati adalah situasi yang paling menyayat hati. Farika Maula pamit undur diri.
Sebagai orang Jogja yang wegah berdamai dengan UMR-nya, pekerja seperti saya mesti pinter cari peluang karier hingga kudu siap banting setir. Karena tahun ini bukan hoki saya di dunia pendidikan, saya sedang mencoba cari pelampiasan biar nggak stres karena kepikiran. Lha gimana, Jam ngajar sebagai dosen luar biasa, suwung alias nggak ada. SK ngajar di-ghosting terus nggak tahu kapan turunnya. Udah gitu nggak keterima jadi mahasiswa S3, ditolak beasiswa pula. Hesssss pokoe anane mung putus asa. Akhirnya, saya putuskan nggak joining trend dulu buat lanjut S3. Sebagai orang yang memiliki ijazah S2 dari kampus ternama, saya pilih jaga warung Madura saja. Sebenarnya ini bukan keinginan pribadi, jelas ini inisiatif suami. Suami yang mencarikan modalnya, saya cukup bantu lewat jalur doa. Fixed, kini saya menggeluti profesi baru. Penjaga warung. Iki jenenge wes dudu dwifungsi, tapi multifungsi. Asalkan bukan jadi buzzer, profesi apa saja saya gas banter. Pesan saya, jangan pernah berharap kaya dari UMR Jogja. Alih-alih kaya raya, malah jadi gila. Bagi yang sedang lewat atau tinggal di Kalasan Raya, kulo aturi mampir di warung kami. Insya Allah belanja hemat, dompet selamat.
Monthly trend of total Followers
Monthly trend of average likes per post
Kenali tipe KOL dari Nano hingga Mega dan manfaatkan data engagement rate kami untuk memilih influencer yang tepat.
| Nano 1K-10K |
Micro 10K-50K |
Mid-tier 50K-500K |
Macro 500K-1M |
Mega 1M+ |
|
|---|---|---|---|---|---|
| High | 5.31% | 2.01% | 2.47% | 2.53% | 2.60% |
| Above average | 4.01% | 1.80% | 1.74% | 1.53% | 1.94% |
| Average | 2.42% | 0.98% | 0.88% | 1.01% | 1.15% |
| Below average | 1.08% | 0.62% | 0.54% | 0.60% | 0.80% |
| Low | 1.06% | 0.50% | 0.32% | 0.44% | 0.57% |
Engagement rate didapatkan dari perhitungan rata-rata Likes, Comments, Share dibagi dengan jumlah followers kemudian dikali 100. Semakin tinggi engagement rate yang Anda miliki semakin baik nilai Anda.
Sudah tahu tentang KOL atau influencer level mulai dari Nano, Micro, Mid-Tier, Macro dan Mega ? Gunakan benchmark akurat kami untuk mengenal lebih jauh bagaimana benefit mengetahui engagement rate bisa membantu kita memilih KOL apa yang akan kita pakai.
Check engagement rate for any Youtube channel and get detailed analytics report
Check engagement rate for any Instagram account and get detailed analytics report
KOL.ID adalah platform teknologi pemasaran pertama di Indonesia yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk mendukung kolaborasi antara Key Opinion Leaders (KOL) dan bisnis.
Platform ini menyediakan solusi lengkap untuk kebutuhan pemasaran di Instagram, TikTok, dan YouTube, semuanya terintegrasi dalam satu tempat.
Salah satu fitur utama KOL.ID adalah pembuatan dan pengecekan rate card otomatis bagi para KOL.
Dengan menggunakan data real-time dari berbagai platform media sosial, KOL.ID membantu KOL menentukan harga layanan mereka secara akurat dan adil,
sehingga mereka dapat fokus pada kreativitas dan peningkatan engagement rate.
Selain itu, KOL.ID menawarkan berbagai alat analisis, seperti kalkulator engagement rate untuk TikTok, Instagram, dan YouTube,
yang membantu KOL dan bisnis memahami performa akun media sosial dan membuat keputusan yang lebih baik dalam kampanye pemasaran.
Dengan berbagai fitur dan layanan yang ditawarkan, KOL.ID menjadi platform yang andal bagi KOL dan bisnis dalam menjalankan kampanye pemasaran yang efektif dan efisien.
FOR BRAND (Untuk Agency/Brand/Bisnis):
KOL Ranking: Fitur pencarian KOL yang sesuai dengan kebutuhan brand atau bisnis.
Cek Rate Card KOL: Tools untuk bisnis mengevaluasi rate card KOL berdasarkan data dari TikTok, Instagram & YouTube.
Campaign Report: Laporan terperinci untuk mendapatkan data performa (Like, Comment, Share, Views & Save) terkait performa kampanye pemasaran bersama KOL hanya menggunakan Link Posting.
FOR KOL (Untuk Key Opinion Leader):
Buat Rate Card: Alat untuk membantu KOL membuat rate card berdasarkan performa mereka di TikTok, Instagram & YouTube.
FREE TOOLS (Alat Gratis):
Buat MoU KOL: Membuat memorandum of understanding (MoU) antara KOL dan bisnis secara otomatis.
Cek ER KOL TikTok: Alat untuk menghitung engagement rate KOL di TikTok.
Cek ER KOL Instagram: Alat untuk menghitung engagement rate KOL di Instagram.
Cek ER KOL YouTube: Alat untuk menghitung engagement rate KOL di YouTube.
Download Video TikTok: Fitur untuk mengunduh video dari TikTok.
Download Video Instagram: Fitur untuk mengunduh video dari Instagram.
Download Video YouTube: Fitur untuk mengunduh video dari YouTube.
Kamus KOL: Panduan istilah-istilah penting terkait dunia KOL.
Extension Chrome: Extension yang memungkinkan untuk melihat analisa KOL dengan mudah hanya dengan membuka profil Instagram & TikTok.
Semua fitur ini menunjukkan bahwa KOL.ID adalah platform yang lengkap untuk mendukung kebutuhan KOL dan merek/bisnis dalam membangun strategi pemasaran digital.