Pernahkah Anda menghabiskan waktu hanya untuk membuka TikTok atau Reels, lalu tanpa sadar sudah berlalu satu jam lebih? Padahal, yang ditonton hanya deretan video pendek, kadang lucu, kadang menyebalkan, kadang malah bikin overthinking. Ya, inilah salah satu gejala khas dari media sosial. Fenomena ini disebut doomscrolling.
Doomscrolling merupakan kebiasaan menggulir konten atau terus-menerus scrolling media sosial, meskipun kita tahu dampaknya tidak bersahabat bagi mental atau pikiran. Di era konten singkat seperti Reels dan TikTok, kebiasaan ini makin sulit dihentikan karena semuanya didesain agar pengguna terus menonton, tanpa jeda.
Apa Itu Doomscrolling?
Istilah "doomscrolling" mulai muncul di awal pandemi COVID-19, saat banyak orang terus mencari informasi tentang virus, kebijakan lockdown, dan informasi kurang baik dari seluruh dunia. Semakin banyak informasi yang dikonsumsi, semakin tinggi pula tingkat stres dan kecemasan.
2.jpg)
Doomscrolling merupakan cara menghadapi kecemasan yang berlawanan dengan tujuannya. Alih-alih membuat tenang, arus informasi yang berlebihan malah memperbesar rasa cemas.
Doomscrolling juga dipengaruhi oleh kebutuhan manusia untuk merasa tetap terkoneksi dan up-to-date, terutama jika berada di kondisi yang tidak pasti. Namun dalam jangka panjang, perilaku ini berisiko memicu kecemasan berlebih dan kelelahan emosional.
Reels dan TikTok: Mesin Pemicu Doomscrolling
Jika dulu doomscrolling identik dengan membaca berita di Twitter atau portal berita daring, sekarang fenomena ini berevolusi ke dalam bentuk konten video pendek. Instagram Reels dan TikTok adalah dua platform yang secara desain mendukung kebiasaan doomscrolling. Berkat algoritma TikTok dan media sosial lain, pengguna media sosial hanya perlu mencari posisi duduk yang nyaman, dan otomatis scroll berbagai macam konten dalam waktu berjam-jam.
Konten berdurasi 15–60 detik yang terus berganti dengan satu swipe jari menciptakan pengalaman yang cepat dan tak terputus. Kembali lagi, algoritma TikTok dan Instagram dirancang untuk terus memberikan konten yang relevan secara emosional, baik itu memancing tawa, kemarahan, atau kesedihan.
1.jpg)
Video yang mendapat perhatian lebih lama akan lebih sering ditampilkan kembali, yang membuat konten bernuansa emosional dan ekstrem lebih cepat viral.
Lama-kelamaan, kita terjebak dalam aliran konten yang terus berulang, berisi kisah emosional, pengalaman pribadi, hingga isu-isu sosial yang menyentuh. Doomscrolling pun berlangsung dalam bentuk yang lebih halus namun tak kalah intens.
Dampak Doomscrolling terhadap Kesehatan Mental
Mengonsumsi konten negatif secara berulang bisa mengganggu keseimbangan psikologis. Beberapa dampak yang umum terjadi antara lain:
.jpg)
Dalam artikel Psychology Today, dijelaskan bahwa otak manusia secara alami memiliki negativity bias, yaitu kecenderungan untuk memperhatikan dan mengingat informasi negatif lebih lama daripada yang positif. Bias ini dulunya membantu manusia bertahan hidup, tapi sekarang justru memperkuat pola doomscrolling.
Kenapa Otak Kita Mudah Ketagihan?
Ada alasan neurologis mengapa doomscrolling terasa seperti candu. Saat kita menemukan sesuatu yang “baru” atau mengejutkan, otak melepaskan dopamin, yaitu neurotransmitter yang menimbulkan rasa senang dan puas. Sistem ini disebut reward loop.
Platform seperti TikTok dan Instagram sangat memahami cara kerja dopamin. Dengan menyuguhkan konten baru setiap beberapa detik, mereka menjaga otak tetap dalam mode "mencari-cari" tanpa henti. Bahkan saat kontennya membuat kita marah atau sedih, otak tetap merasa “terhibur” karena adanya stimulus baru.
Merujuk informasi dari Verywell Mind, inilah mengapa doomscrolling terasa sulit dihentikan. Kita merasa “perlu” untuk terus scroll agar menemukan sesuatu yang memberi sense of control atau closure, padahal yang didapat justru makin banyak kecemasan.
Cara Mengatasi Doomscrolling
Meskipun doomscrolling menjadi bagian dari rutinitas banyak orang, bukan berarti tak bisa dikendalikan. Berikut beberapa strategi yang bisa dicoba:
- Tetapkan Batas Waktu Media Sosial
Gunakan fitur screen time atau alarm untuk membatasi waktu penggunaan aplikasi video pendek
- Kurasi Konten yang Dilihat
Ikuti akun-akun yang memberi energi positif, edukatif, atau informatif tanpa memancing emosi negatif berlebihan.
- Lakukan Digital Detox
Sisihkan waktu dalam sehari untuk tidak membuka media sosial, misalnya satu jam setelah bangun tidur atau sebelum tidur malam.
- Alihkan ke Kebiasaan Lain
Ganti dengan membaca buku, jalan kaki, atau membuat jurnal harian agar otak tetap aktif tanpa kecanduan konten digital.
- Sadari kapan Anda mulai doomscrolling
Tanda-tanda awal seperti merasa kosong, cemas, atau lelah tapi tetap membuka media sosial bisa menjadi sinyal untuk berhenti.Doomscrolling di era Reels dan TikTok bukan sekadar kebiasaan digital biasa, melainkan respons emosional terhadap dunia yang bergerak cepat. Konten yang kita konsumsi memang bisa menghibur, tapi kalau terus-menerus dan tanpa disadari batasnya, justru bisa membawa beban mental yang besar.
Karena itu, penting untuk mengenali bagaimana doomscrolling bekerja dan bagaimana platform memanfaatkannya. Dari situ, Anda bisa mulai lebih selektif dalam menggunakan media sosial, yaitu pilih konten yang memberi nilai positif, atur waktu dengan bijak, dan jangan ragu mengambil jeda dari dunia digital saat tubuh dan pikiran membutuhkannya.
Kalau Anda berada di sisi brand atau marketer, penting juga untuk tahu konten seperti apa yang layak masuk ke audiens, bukan yang hanya sekadar viral, tapi juga berdampak positif. Untuk itu, Anda bisa dengan mudah cek rate card influencer di KOL.ID. Platform ini menyediakan tools untuk melihat rate card Instagram, rate card TikTok, dan rate card YouTube. Segera cek di KOL.ID dan temukan influencer yang paling cocok untuk nilai dan pesan brand Anda!