FOMO: Baik untuk Brand, Bahaya untuk Konsumen

Istilah FOMO akhir-akhir ini mungkin sering digunakan atau disebutkan baik di media sosial atau di kehidupan nyata. FOMO jadi istilah yang mewakilkan saat seseorang merasa tertinggal atau takut ketinggalan suatu informasi atau trend. Ada benarnya, karena FOMO merupakan singkatan dari Fear of Missing Out, sebuah fenomena psikologis yang banyak digunakan saat ini, terutama di era digital.
Awalnya, FOMO merupakan istilah atas sebuah reaksi terhadap kecemasan sosial. Tapi, kini istilah FOMO punya makna lain yang berujung pada keputusan seseorang dalam membeli sesuatu berdasarkan trend di sekitarnya. Kembali ke pembahasan soal era digital, FOMO hadir sebagai bentuk keputusan seseorang setelah melihat seorang influencer atau bahkan teman yang memiliki gaya hidup tertentu atau mempromosikan produk tertentu yang sedang trend.
FOMO dan Media Sosial, Kombinasi yang Makin Populer
Istilah atau fenomena FOMO semakin kuat di media sosial, terutama dikarenakan berbagai fitur yang bisa membantu kita untuk melihat berbagai hal baru termasuk trend, produk, atau promosi yang sedang berlangsung. Secara tidak langsung, hal-hal tersebut dapat menciptakan dorongan atau rasa untuk ingin memiliki atau mencoba sesuatu yang sedang trend. Dan umumnya, sesuatu tersebut dirasa bisa menguntungkan atau meningkatkan status sosial seseorang.
Jika merujuk data dari Eventbrite, pada tahun 2019 terdapat 56% user media sosial yang mengaku cemas karena takut tertinggal momen atau penawaran produk yang sedang viral. Rasa ‘ketinggalan’ ini tercipta saat seseorang belum merasakan atau belum memiliki sesuatu yang sedang viral, dan merasa dirinya perlu punya atau pernah mencoba hal tersebut.
Belum lagi jika Anda melihat konten di platform seperti Instagram dan TikTok. Konten-konten promosi umumnya memiliki hook yang sangat menarik, dan umumnya mengajak audiens perlu membelinya dengan cepat. Contoh hooknya seperti “penawaran terbatas”, “lagi viral!” “nyesel kalo ga beli!”. Jenis hook tersebut tidak hanya berhasil menarik atensi audiens, tapi juga membuat audiens harus segera beli.
Di tangan brand, fenomena ini bisa diolah dengan baik untuk mendatangkan keuntungan. Caranya, brand bisa memunculkan produk-produk yang dibalut dengan keterangan seperti flash sale, diskon akhir tahun, hingga produk limited edition. Selain untuk menarik perhatian, cara ini juga efektif untuk penjualan. Sejalan dengan data dari Nielsen yang mencatat bahwa 60% konsumen di Indonesia terpengaruh untuk membeli suatu produk karena diskon yang menarik.
FOMO: Keuntungan untuk Brand
Rasa ‘takut’ pada seseorang terhadap suatu hal, khususnya produk jadi keuntungan tersendiri untuk brand. Brand bisa mengolah FOMO ini menjadi keuntungan yang menggiurkan. Contohnya, terdapat permintaan tinggi terhadap suatu produk botol air. Dengan berbagai review yang menarik dan penawaran eksklusif, brand bisa membuat konsumen untuk melakukan tindakan, yaitu membeli produk tersebut.
Nah, strategi ini bisa menciptakan rasa keinginan membeli dari sisi konsumen, apalagi jika brand benar-benar memanfaatkan platform seperti TikTok, X, dan Instagram yang bisa membuat suatu konten cepat viral. Di satu sisi, rasa FOMO juga bisa berujung pada loyalitas konsumen, lho.
Bayangkan ketika suatu brand memberikan exclusive deal pada suatu produk. Lalu, ada beberapa konsumen yang belum sempat membeli produk tersebut dengan penawaran spesial. Hal ini bisa membuat konsumen tersebut melakukan aksi seperti follow account media sosial brand untuk mendapatkan info terbaru. Nah, brand bisa melakukan hal yang sama dengan melakukan komunikasi dan interaksi dengan para konsumennya.
FOMO: Tantangan untuk Konsumen
Jika FOMO jadi keuntungan bagi brand, belum tentu bagi konsumen. Konsumen yang merasa FOMO untuk membeli suatu produk perlu membeli product tersebut secara cepat, dengan rasa takut barang habis atau tertinggal penawaran spesial. Berarti, konsumen harus ‘siap’ mengeluarkan dana kapan saja agar tidak tertinggal produk incarannya.
Ya, ketika merasa tertekan untuk membeli barang hanya karena takut ketinggalan, banyak konsumen yang akhirnya melakukan pembelian impulsif tanpa berpikir panjang. Harvard Business Review mengungkapkan bahwa sekitar 72% konsumen merasa menyesal setelah melakukan pembelian impulsif, yang sering kali terjadi akibat FOMO.
Dengan kata lain, FOMO menyebabkan pembelian yang kurang bijaksana, terutama jika konsumen membeli sesuatu yang sebenarnya belum atau tidak begitu dibutuhkan, alias membelinya hanya karena takut terlambat. Pada akhirnya, pengeluaran pun kurang terarah dengan baik.
FOMO Bisa Diatur, Kok!
Tapi tenang saja, FOMO sejatinya bisa diatur, kok. Dari segi brand, brand perlu memastikan untuk tidak hanya fokus pada keuntungan jangka pendek saja, tapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap relasi dengan konsumen. Bagi konsumen, penting untuk lebih bijaksana dalam mengelola dan menangani FOMO.
Perlu diingat, sebelum membeli sesuatu karena penawaran terbatas atau karena mengikuti trend, pertimbangkan kembali apakah barang tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan Anda. FOMO bukan hal yang buruk, tapi perlu dikelola dan ditahan dengan baik. Jika dihadapi dengan bijak, FOMO bisa jadi jembatan yang menguntungkan baik bagi brand ataupun konsumen.

share this article

Fajar - Manager KOL.ID
Hi, I'm Fajar! I’m passionate about connecting brands with KOLs who build trust and shape consumer choices. With expertise in KOL marketing and a focus on trends, I create partnerships that strengthen brand stories and drive growth.
Post You’ve Might Like
Empower your brand's
growth journey with KOL.ID
Equip yourself with an all-inclusive suite of tools for initiating and expanding influencer marketing campaigns.
Try KOL.ID for Free