Nilai estetika di media sosial seperti TikTok atau Instagram memang punya peranan besar dalam membentuk identitas brand. Tapi, semakin banyak audiens yang merasa jenuh dengan konten yang terlalu dipoles, terlalu seragam, dan tidak terasa manusiawi. Fenomena ini dikenal sebagai aesthetic fatigue, yaitu kelelahan visual akibat paparan estetika yang terlalu sempurna dan repetitif. Bagi para brand dan kreator, ini menjadi sinyal untuk mengubah pendekatan visual agar tetap relevan dan otentik di mata audiens.
Apa Itu Aesthetic Fatigue?
Aesthetic fatigue adalah kondisi ketika audiens merasa bosan atau tidak lagi tertarik pada konten visual yang terlalu dibuat-buat atau mengikuti tren estetika yang sudah usang. Studi dari Sprout Social (2023) menunjukkan bahwa 34% pengguna media sosial mengaku lebih tertarik pada konten yang tampak natural dan autentik ketimbang visual yang terlalu sempurna. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran preferensi terhadap gaya komunikasi visual yang lebih original dan jujur.
Sumber lain yaitu Later.com, menyoroti bahwa penggunaan filter berlebihan dan feed yang terlalu senada justru bisa mengurangi engagement. Bahkan, beberapa brand besar mulai mengurangi penggunaan filter dan lebih sering mempublikasikan behind the scenes serta konten berbasis community atau pelanggan sebagai strategi menghadapi fatigue ini.

Mengapa Brand Harus Adaptif?
Aesthetic fatigue tidak hanya berdampak pada preferensi visual, tetapi juga menyangkut kepercayaan terhadap brand. Audiens saat ini cenderung skeptis terhadap konten yang tampak terlalu sempurna. Mereka menginginkan kejujuran dan transparansi, bukan pencitraan tanpa makna.
Menurut riset dari Hootsuite (2024), konten dengan elemen otentik seperti testimoni jujur, cerita pengguna, dan tampilan real-life experience menghasilkan engagement 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan konten berformat studio atau hasil edit berat. Ini menunjukkan bahwa keotentikan bukan sekadar pilihan kreatif, tapi strategi marketing yang efektif.
Brand yang gagal membaca tren ini bisa mengalami penurunan relevansi, terutama di kalangan Gen Z yang sangat responsif terhadap sinyal-sinyal kejujuran dan nilai sosial.
Strategi Menghadapi Aesthetic Fatigue
Untuk tetap kompetitif, brand dan kreator perlu melakukan adaptasi visual secara strategis tanpa kehilangan identitasnya. Berikut beberapa pendekatan yang dapat diterapkan:
Perkuat Nilai Original dalam Visual
Gunakan pendekatan dokumenter atau real-life capture. Misalnya, alih-alih memotret produk di studio, tampilkan pengguna yang sedang memakai produk tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Konten seperti ini memunculkan rasa koneksi dan kepercayaan.
Kurangi Kurasi Berlebihan
Berikan ruang untuk momen tidak sempurna. Komentar spontan, ekspresi natural, bahkan sedikit kekacauan visual bisa membuat konten terasa lebih hidup. Ini berlaku tidak hanya di Instagram, tapi juga TikTok dan YouTube Shorts.
Gunakan UGC sebagai Senjata
User-generated content atau UGC bukan hanya menghemat biaya produksi, tapi juga membawa suara otentik dari komunitas. Brand seperti Azarine dan GoPro telah membuktikan bahwa konten dari pengguna bisa menghasilkan daya tarik emosional lebih kuat. Atau contoh lainnya adalah Apple yang menjalankan strategi marketing bertajuk 'Shot on iPhone'. Para pemiliki iPhone bebas mengunggah berbagai macam konten visual mulai dari foto hingga video di berbagai platform media sosial dengan tagar #shotoniphone.

Brand yang Berhasil Adaptasi
Beberapa brand telah berhasil menghadapi aesthetic fatigue dengan pendekatan yang lebih autentik. Misalnya, Duolingo di TikTok menggunakan maskot burung hijau mereka dalam skenario lucu dan absurd, yang jauh dari estetika “clean” tetapi sangat relatable.
Duolingo Mengikuti Trend "Aura Farming" atau Pacu Jalur
@duolingo hitting this emote all summer ?? #duolingo ♬ original sound - ??????
Contoh lain datang dari Ryanair, maskapai penerbangan asal Eropa. Ryanair mengunggah konten TikTok yang memparodikan pengalaman kurang baik dari pelanggan secara lucu dan ringan, justru meningkatkan engagement mereka secara signifikan.
Ryanair Membuat Konten dari Penumpang Secara Komedi
@ryanair you thought it was free? ? #stitch w/ @Molly #ryanair ♬ original sound - Ryanair
Aesthetic fatigue menunjukkan bahwa visual yang bagus saja tidak cukup. Di balik estetika, audiens mencari keterhubungan, kejujuran, dan emosi yang nyata. Untuk itu, brand dan kreator perlu mengurangi kurasi, memperkuat suara otentik, dan menyuguhkan konten yang terasa manusiawi. Di era visual yang makin cepat berubah, kesan yang dibangun secara original bisa menjadi diferensiasi yang kuat.
Untuk referensi, Anda bisa melihat dan membandingkan referensi konten dari akun TikTok, Instagram, dan YouTube di Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan brand Anda. Jika brand Anda ingin melakukan kolaborasi dengan influencer yang tepat untuk menyampaikan pesan yang otentik, cek rate card KOL untuk KOL di berbagai platform seperti Instagram, TikTok atau YouTube hanya di KOL.ID agar bisa memilih kreator yang sesuai dengan nilai dan strategi brand Anda.