Woke-Washing

Pernahkah Anda melihat brand menyeruakan dukungan terhadap isu sosial? Mulai dari kesetaraan gender, stop genocide, feminisme, hingga ajakan peduli kesehatan mental. Unggahan tersebut tampak penuh semangat dan menyebarkan pengaruh kebaikan.
Namun, apakah pernah terlintas di benak Anda, bahwa semua dukungan tersebut benar-benar tulus, atau hanya strategi pemasaran semata? Di sinilah istilah woke-washing muncul, sebuah praktik yang terlihat mendukung isu sosial, tapi ternyata kosong di balik layar.
Fenomena ini terjadi di berbagai brand dan tentunya bisa merusak branding dan reputasi dari brand. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud woke-washing? Dan kenapa hal ini buruk?
Apa Itu Woke-Washing?
Woke-washing adalah praktik ketika brand secara sengaja menampilkan citra peduli terhadap isu-isu sosial demi keuntungan bisnis, padahal tidak ada aksi nyata di balik pernyataan tersebut.
Istilah ini merupakan gabungan dari kata “woke” yang berarti sadar secara sosial (terutama terhadap isu diskriminasi dan ketidakadilan) dan “washing” yang mengacu pada pencitraan palsu, mirip dengan istilah lain seperti greenwashing dalam konteks lingkungan.
Perusahaan yang melakukan woke-washing seringkali hanya ikut-ikutan tren tanpa menunjukkan komitmen atau tindakan nyata. Mereka memanfaatkan isu-isu sosial sebagai alat pemasaran agar terlihat relevan dan mendapatkan simpati publik, namun tidak melakukan perubahan struktural di internal perusahaan atau komunitas yang terdampak.
Kenapa Woke-Washing Buruk?
Meskipun tampak seolah mendukung nilai-nilai positif, woke-washing sebenarnya bersifat manipulatif dan dapat memberikan dampak negatif, antara lain:
1. Merendahkan Nilai Perjuangan Sosial
Dengan menjadikan isu-isu serius seperti rasisme, LGBTQ+, atau kesetaraan gender sebagai alat pemasaran semata, perusahaan mereduksi perjuangan sosial menjadi tren belaka. Hal ini tidak hanya memperlemah pesan yang ingin disampaikan aktivis, tetapi juga menyakiti komunitas yang terdampak langsung oleh ketidakadilan tersebut.
2. Menipu Konsumen
Konsumen modern semakin sadar dan kritis. Mereka cenderung memilih brand yang memiliki nilai dan misi sosial. Namun, ketika perusahaan memalsukan komitmen sosial demi menarik perhatian, maka yang terjadi adalah penipuan publik secara tidak langsung.
3. Menurunkan Kepercayaan Publik
Saat sebuah brand ketahuan melakukan woke-washing, kepercayaan konsumen bisa runtuh dalam sekejap. Hal ini berdampak jangka panjang terhadap reputasi perusahaan dan loyalitas pelanggan.
4. Mengalihkan Fokus dari Perubahan Nyata
Alih-alih membantu memperjuangkan perubahan sosial, woke-washing justru menciptakan disonansi. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk aksi nyata malah dihabiskan untuk pencitraan semu.
Contoh Woke-Washing
Agar dapat memahami lebih dalam apa itu woke-washing, maka terdapat beberapa contoh yang menjelaskan mengenai praktik woke-washing, yaitu:
1. Kampanye Feminisme Palsu
Misalnya brand fashion mengangkat tema feminisme dalam kampanye iklannya, tetapi di saat yang sama mempekerjakan buruh perempuan di negara berkembang dengan upah yang rendah, kondisi kerja yang tidak layak, bahkan hak-hak pekerja seperti cuti yang sulit didapatkan.
2. Black Lives Matter (BLM)
Setelah peristiwa kematian George Floyd tahun 2020, banyak brand yang mengunggah pernyataan dukungan terhadap gerakan BLM. Namun, sebagian di antaranya justru tidak merefleksikan komitmen tersebut dalam praktik internal, seperti tidak membuka ruang kerja yang inklusif bagi karyawan kulit hitam atau bahkan memiliki rekam jejak perlakuan diskriminatif terhadap mereka.
3. Kampanye Kesehatan Mental Palsu
Beberapa brand menyuarakan dukungan terhadap kesehatan mental. Namun dalam praktik internalnya sendiri, mereka mendorong budaya kerja yang bertolak belakang, seperti jam kerja berlebihan, tekanan performa yang tidak realistis, hingga kurangnya dukungan emosional bagi karyawan.
Bagaimana Seharusnya Brand Bersikap?
Alih-alih sekedar mengikuti tren sosial demi keuntungan, perusahaan perlu mengadopsi pendekatan yang autentik dan berkelanjutan. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan brand agar tidak dituding melakukan woke-washing:
1. Mulai Dari Internal Perusahaan
Komitmen dalam suatu isu sosial harus berakar dari dalam organisasi internal, sehingga perusahaan perlu menciptakan lingkungan kerja yang mencerminkan keberagaman, dari segi gender, ras, usia, hingga latar belakang.
Artinya, keberagaman tidak boleh berhenti pada representasi visual (seperti memilih model kampanye yang beragam), tetapi juga tercermin dalam tim manajemen, HRD, dan semua level organisasi.
2. Transparansi dalam Aksi Sosial
Jika perusahaan mengklaim mendukung isu tertentu, mereka harus bisa menunjukkan bukti nyata secara terbuka. Jangan hanya menggunakan tagar atau merilis pernyataan simbolik tanpa aksi nyata di baliknya.
Transparansi ini menunjukkan bahwa brand tidak sekadar “berpihak saat viral”, tetapi memang punya komitmen jangka panjang. Brand juga bisa menunjukkan konsistensinya dengan terus mengangkat isu yang mereka dukung secara rutin, tidak hanya saat momen tertentu.
3. Libatkan Komunitas Terkait
Salah satu kekeliruan dalam praktik woke-washing adalah ketika brand berbicara tentang komunitas, tanpa benar-benar melibatkan mereka. Misal mendukung tema feminisme, maka undang komunitas feminisme, atau aktivis, serta influencer feminism untuk ikut serta dalam kampanye, bukan sekedar menjadikan mereka objek.
4. Konsisten Sepanjang Waktu
Dukungan terhadap isu sosial tidak boleh bersifat musiman atau sekadar strategi pemasaran saat momen tertentu (seperti Pride Month atau Earth Day). Isu sosial yang diangkat harus sejalan dengan misi dan visi jangka panjang brand.
Misalnya, jika brand mempromosikan body positivity, maka semua lini produk dan komunikasinya juga harus mendukung keberagaman tubuh, bukan hanya saat isu tersebut sedang viral.
Dengan mengambil langkah-langkah di atas, brand tidak hanya menghindari jebakan woke-washing, tetapi juga membangun kredibilitas, loyalitas konsumen, dan dampak sosial yang nyata. Sebab pada akhirnya, konsumen masa kini jauh lebih kritis, mereka bisa membedakan mana kampanye yang sekadar simbolik, dan mana yang benar-benar tulus.
Untuk memudahkan brand menyuarakan pesan sosialnya, brand juga bisa menggandeng influencer yang mendukung nilai yang sama dengan brand. Dengan begitu, activism brand dapat dipercaya oleh konsumen, dan menghindari tudingan woke-washing.
Anda bisa cek rate card influencer yang memiliki nilai yang sama dengan brand Anda di KOL.ID.
Platform ini menyediakan tools untuk cek rate card mulai dari Instagram, TikTok, ataupun YouTube. Anda dapat mengunjungi website KOL.ID dan temukan influencer yang cocok menyuarakan pesan sosial brand Anda!

share this article

Salsa - Manager KOL.ID
Hi, I'm Salsa! I focus on content marketing that brings brands together with KOLs to create authentic and engaging stories. By understanding trends and conducting research, I help brands and KOLs create impactful collaborations that resonate with their audience and deliver measurable results.
Post You’ve Might Like
Empower your brand's
growth journey with KOL.ID
Equip yourself with an all-inclusive suite of tools for initiating and expanding influencer marketing campaigns.
Try KOL.ID for Free