Buat Rate Card Tiktok Buat Rate Card Instagram Buat Rate Card Youtube
Buat MoU Otomatis Cek ER KOL Tiktok Cek ER KOL Instagram Cek ER KOL YouTube Download Video Tiktok Download Video Instagram Download Video Youtube Kamus KOL
Ranking KOL Tiktok Ranking KOL Instagram Ranking KOL Youtube Cek Rate Card KOL Tiktok Cek Rate Card KOL Instagram Cek Rate Card KOL Youtube Campaign Report KOL Management Extensions KOL.ID
Login Register
HOME › Digital Marketing › Cultural Branding, Strategi Brand Raih Atensi Konsumen Muda Jadi Lebih Mudah

Cultural Branding, Strategi Brand Raih Atensi Konsumen Muda Jadi Lebih Mudah

Hero image of a city skyline at night

Persaingan brand tidak hanya soal kualitas produk atau harga. Di media sosial seperti TikTok atau Instagram, brand tidak lagi tampil 'kaku', karena untuk menyapa para calon konsumen, terutama yang berusia muda, brand perlu lebih fleksibel. Ya, audiens semakin kritis dalam memilih brand yang disukai dan diperhatikan.

Banyak konsumen generasi muda lebih memperhatikan bagaimana sebuah brand menempatkan diri dalam isu sosial, budaya, dan identitas. Di sinilah cultural branding menjadi strategi penting. Cultural branding bukan sekadar campaign, melainkan cara brand membangun posisi sebagai simbol nilai yang hidup dalam masyarakat.

Brand hadir bukan sebagai pengamat, melainkan bagian dari percakapan dengan menawarkan narasi yang relevan. Strategi ini menuntut brand untuk lebih peka, autentik, dan konsisten.

Baca Juga: Tren Mihu-Mihu dan Mahi-Mahi di TikTok, Apa yang Membuat Tren Ini Viral?

Bagaimana Cultural Branding Bekerja?

Ada beberapa langkah penting dalam menjalankan cultural branding. Supaya lebih jelas, berikut tahapan yang biasanya dilakukan brand:

Contoh Penerapan Cultural Branding

Dove adalah salah satu brand global yang berhasil memanfaatkan cultural branding secara konsisten. Lewat Real Beauty campaign, Dove tidak hanya menjual produk perawatan tubuh, tetapi juga membangun narasi tentang penerimaan diri dan keberagaman bentuk tubuh.

 Real Beauty Campaign dari Dove UK (Sumber: dove.com)

Dengan menampilkan perempuan dengan perbedaan latar belakang, Dove menentang standar kecantikan yang selama ini mendominasi industri. Strategi ini memperkuat posisi Dove sebagai brand yang relevan dengan isu sosial sekaligus dekat dengan konsumen yang menginginkan representasi lebih otentik.

Di Indonesia, Gojek juga menerapkan strategi cultural branding. Promosi yang ringan tapi mudah menyita perhatian membuat iklan Gojek berhasil diingat, baik pesan, produk, dan tentu saja konsep promosi itu sendiri. Salah satu contohnya adalah iklan GoCar Luxe, sebuah layanan taksi online dengan tingkat kenyamanan yang lebih baik.

Iklan GoJek GoCar Luxe (Sumber: YouTube / Good News) 

Pada iklan tersebut, alih-alih memberikan highlight produk luxury pada umumnya, Gojek justru membalutnya dengan humor. Tapi, kesan mewah dan nyaman tetap bisa disampaikan dengan baik. Salah satu contohnya adalah perkara duduk nyaman. Sebelum benar-benar sampai ke pesan bahwa GoCar Luxe memberikan fasilitas kenyamanan tempat duduk, ada hal nyeleneh yang disampaikan oleh narator, mulai dari duduk nyemen (merapikan semen) hingga dedek nyaman.

Baca Juga: Ingin Campaign Lebih Efektif? Ini 5 Aspek Penting Campaign Brief Yang Harus Diperhatikan

Brand lain yang patut dicatat adalah shampo Head & Shoulders. Pada 2019, mereka merilis iklan bloopers salah satunya melalui YouTube bersama Joe Taslim yang menampilkan salah penyebutan nama, seperti ‘Head and Soldiers’ dan ‘Hed en Sower’.

Bloopers Joe Taslim "Head & Shoulders“ (Sumber: YouTube / Head & Shoulders Indonesia) 

Strategi ini memanfaatkan fenomena salah sebut yang sudah akrab di masyarakat, sehingga terasa dekat dan berhasil menarik perhatian audiens lewat pendekatan humor.

Relevansi di Era Digital

Cultural branding menjadi semakin penting di era media sosial. Audiens kini lebih banyak menghabiskan waktu di platform digital, tempat isu sosial dan budaya bergerak sangat cepat. Brand yang ingin relevan perlu hadir di ruang ini dengan sikap yang jelas.

Kolaborasi dengan influencer atau KOL memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan cultural branding. KOL memiliki basis audiens yang loyal dan bisa menjadi jembatan agar narasi brand lebih mudah diterima. Namun, kolaborasi ini harus dijalankan dengan hati-hati. KOL yang dipilih harus selaras dengan identitas brand agar campaign tidak terlihat memaksakan dan sejalur dengan tujuan dari campaign itu sendiri.

Cultural branding memberi peluang bagi brand untuk menjadi lebih dari sekadar penyedia produk. Strategi ini menjadikan brand simbol nilai, identitas, dan aspirasi. Keberhasilannya bergantung pada seberapa konsisten brand mengusung narasi dan seberapa tepat brand memilih medium komunikasi.

Bagi marketer, memahami strategi saja tidak cukup. Eksekusi membutuhkan kolaborasi dengan figur publik yang relevan. Di sinilah peran platform seperti KOL.ID menjadi penting. Melalui KOL.ID, marketer bisa cek rate card KOL dari berbagai media sosial, mulai dari TikTok, Instagram dan YouTube sekaligus menemukan influencer yang tepat untuk mendukung narasi cultural branding. Dengan pendekatan ini, strategi tidak berhenti di bagian ide saja, melainkan bisa diwujudkan dalam campaign nyata yang memberi dampak bagi brand.