Kalau Anda lagi scroll TikTok, lalu mendapati video AI aneh seperti “Tung Tung Tung Sahur” atau “Ballerina Cappucina”, yang membuat Anda bertanya-tanya ”ini apa sih maksudnya?” nah, selamat, Anda baru saja melihat konten anomali brain rot.
Jangan khawatir, Anda tidak sendirian. Bagi orang dewasa pastinya bingung apa yang dimaksud dengan video anomali brain rot seperti itu. Walau terkesan seperti video yang tidak jelas, justru anak kecil seperti Gen Alpha, menikmati video tersebut. Konten ini semakin sering masuk FYP TikTok dan menjadi fenomena viral karena banyak anak-anak yang menyukainya.
Tapi, kenapa sih, Gen Alpha begitu menyukai konten “Tung Tung Tung Sahur” alias anomali brain rot ini? Apa yang membuat konten tersebut menarik bagi mereka? Namun, sebelum mencari tahu alasan Gen Alpha menyukai konten anomali brain rot, yuk, kita kenali lebih dalam konten anomali brain rot yang sedang viral saat ini.
Apa Itu Anomali Brain Rot?
Anomali Brain Rot yang viral di TikTok adalah karakter animasi buatan AI dengan konsep brain rot atau absurd yang visualnya menggabungkan antara makhluk hidup dan objek benda mati.
Visualnya memiliki nama-nama unik, yang menariknya, banyak diingat oleh anak kecil, seperti Tung Tung Tung Sahur, sebuah kentungan menyerupai manusia. Lalu ada Ballerina Cappucina, secangkir kopi yang berwujud perempuan, dan Tralalero Tralala, ikan hiu yang memiliki kaki memakai sepatu.
_11zon_.jpg)
Kapan sih anomali brain rot ini viral? Nah, dari berbagai sumber, anomali brain rot yang pertama kali muncul adalah Tralalelo Tralala yang diunggah pada Januari 2025. Asal usul brain rot ini sebenarnya tidak diketahui siapa, namun di upload oleh pengguna TikTok @eZburger401.
Fenomena ini pertama kali viral bukan di Indonesia, tetapi di Italia, makanya banyak karakter anomali Brain Rot memiliki gaya dan nama ala-ala italia. Mereka menggunakan voiceover berakses AI Italia. Nah, dari video tersebut, tren ini menyebar ke negara-negara lain seperti Indonesia, Jerman, dan Amerika Serikat.
Brain Rot sendiri secara harfiah artinya pembusukan otak. Dikutip dari CNN News, Psikolog Afifah Fatin menyatakan bahwa brain rot ini bukan mengacu pada istilah medis, tetapi istilah yang diciptakan masyarakat modern sebagai cara untuk mendeskripsikan kondisi mental seseorang yang telah banyak mengonsumsi konten di media sosial.
Kenapa Gen Alpha Suka dengan Konten Anomali Brain Rot?
Setelah kita mengenal apa yang dimaksud dengan anomali brain rot dan asal-usulnya, lantas kita masuk dalam pembahasan, kenapa Gen Alpha suka dengan konten Anomali Brain Rot?
Nah, untuk menjawab rasa penasaran ini, kita harus memahami bagaimana cara kerja otak mereka dan faktor pendukung lainnya yang membuat mereka menyukai konten hiburan semacam ini.
Kadang, kejanggalan yang terlihat bukan sekedar selera ‘aneh’ anak-anak, melainkan refleksi dari bagaimana otak anak kecil mencari stimulasi hiburan. Berikut 4 faktor kenapa Gen Alpha suka konten anomali brain rot:
1. Stimulasi Dopamin Instan
Konten anomali brain rot umumnya hadir dalam bentuk short form video atau video pendek yang penuh kejutan, baik secara visualnya yang tidak biasa atau audionya yang jarang didengar. Ini menciptakan efek “Novelty-Seeking”.
Menurut Claude R. Cloninger, Novelty-seeking adalah kecenderungan seseorang untuk merasa senang dan bersemangat menghadapi hal-hal baru, terutama jika hal itu menjanjikan hadiah, atau menghindari dari hukuman. Seperti yang kita tahu, anak kecil memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, bukan?
Setiap kali anak kecil atau Gen Alpha, melihat sesuatu yang tak terduga, otak memberi mereka dopamin, hormon yang merasa senang dan menghibur. Jadi ketika mereka melihat konten anomali brain rot, dopaminnya akan meningkat karena efek “Novelty-Seeking”.
Buat Gen Alpha yang tumbuh bersama dengan media sosial, seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels, konten semacam ini menawarkan ledakan dopamin instan. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Fronties in Human Neuroscience meneliti aktivitas otak pada individu yang kecanduan menonton video pendek.
Hasilnya menunjukkan aktivitas tinggi di bagian otak bernama Orbitofrontal Cortex (OFC) yang berperan penting dalam pengambilan keputusan, rasa senang (reward), dan kontrol impulsif. Jika bagian ini aktif berlebihan, maka bisa mendorong seseorang untuk mengejar kepuasan instan tanpa mempertimbangkan resiko jangka panjang.
_20250511_100107_0002_11zon_.jpg)
Jadi mudahnya, seseorang yang sering terpapar video pendek, otaknya akan menyesuaikan diri untuk mencari reward instan. Efeknya? Kita jadi ingin menonton lagi dan lagi. Apalagi jika isi videonya absurd yang mengundang “Novelty-Seeking”, bagi anak kecil ini terasa seperti kejutan yang bikin nagih.
2. Cognitive Fatigue & Escapism
Gen Alpha hidup di era multitasking digital, di mana mereka belajar daring, main game, buka media sosial, menonton YouTube, semuanya dilakukan secara bersamaan. Akibatnya, otak mereka mudah lelah karena terpapar layar terus menerus atau disebut dengan cognitive fatigue.
Nah, konten absurd seperti anomali brain rot memberi bentuk hiburan tanpa beban kognitif, di mana anak tidak perlu mikir dan tidak perlu logika. Ini selaras dengan teori escapism dalam psikologi, yaitu pelarian dari kenyataan untuk menurunkan stres atau kecemasan.
Verywell Health juga menjelaskan bahwa scroll media sosial, seperti TikTok dan melamun adalah tipe escapisme yang sering dilakukan, bahkan bisa bermanfaat jika dilakukan dalam batas yang wajar. Namun, jika dilakukan secara berlebihan, misal berniat scroll TikTok 5 menit untuk istirahat, tapi masih berlanjut sampai 1 jam lebih, maka escapism berubah menjadi kebiasaan yang tidak sehat.
_11zon_.jpg)
3. Neuroplasticity
Otak anak kecil dan remaja, khususnya Gen Alpha, masih dalam masa perkembangan. Otak mereka mudah beradaptasi dengan pola pengalaman yang berulang. Neuroplasticity adalah kemampuan otak untuk beradaptasi dan mengatur respons terhadap rangsangan internal maupun eksternal.
Terdapat 2 tipe neuroplasticity, yaitu structural plasticity dan functional plasticity. Structural Plasticity adalah kemampuan otak untuk benar benar mengubah struktur fisiknya.
sedangkan functional plasticity, adalah kemampuan otak untuk mengalihkan fungsi tertentu dari area orang yang rusak ke arah lain yang masih sehat, ini biasanya terjadi setelah cedera otak atau stroke.

Nah, mari lebih fokus ke structural plasticity. Pengalaman dan ingatan yang kita alami bisa bisa mengubah bentuk dan koneksi fisik di otak kita. Artinya, saat anak belajar hal baru, lalu mengalami sesuatu yang emosional, otak bukan hanya ‘mengingat’, tetapi juga membentuk jalur saraf baru (sinapsis), inilah yang disebut dengan structural plasticity.
Saat anak-anak sering menonton video anomali brain rot, otaknya akan mengingat dan membentuk kebiasaan untuk lebih tertarik pada rangsangan visual yang cepat, intens, dan hiburan yang tidak logis. Makanya tidak heran, mengapa anak-anak bahkan sampai hafal nama-nama anomali brain rot, bukan?
Ketika otak anak terus menerus terpapar konten anomali brain rot, lambat laun ini akan menimbulkan preferensi terhadap hal-hal absurd dan sensorial. Akibatnya, ketika disuguhi konten yang lebih lambat, terarah, dan penuh narasi, mereka bisa cepat merasa bosan.
4. Preferensi Humor yang Berubah
Dalam psikologi, ada istilah hedonic adaptation yaitu sebuah proses alami di mana otak manusia secara perlahan terbiasa terhadap pengalaman emosional, baik itu negatif atau positif.
Menurut teori dari Schkade dan Kahneman (1998) dan Wilson and Gilbert (2008), hedonic adaptation terjadi karena perhatian kita terhadap pengalaman tersebut berkurang seiring waktu. Misalnya, ketika pertama kali mendapatkan handphone baru, kita merasa sangat senang. Tapi setelah beberapa waktu, emosi itu memudar karena otak sudah menyesuaikan diri.
Nah, karena kita sudah terbiasa dengan rasa senang ini, otak butuh stimulus yang lebih tinggi untuk merasakan rasa senang yang sama seperti sebelumnya. Nah, ini juga terjadi pada preferensi hiburan Gen Alpha.
Sejak kecil, mereka sudah disuguhi berbagai bentuk hiburan, kartun lucu, joget viral, hingga game interaktif. Akibatnya, konten yang “biasa aja” terasa datar. Maka, konten anomali brain rot yang absurd dan melawan logika menjadi angin segar bagi mereka. Justru karena tak ada aturan, tak ada makna jelas, dan sering kali nyeleneh, itulah yang membuat mereka tertawa.
_20250511_100108_0005_11zon_.jpg)
Humor mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih absurd. Ini menjelaskan kenapa lelucon yang menurut orang dewasa “tidak lucu”, justru dianggap sangat menghibur oleh anak-anak zaman sekarang.
Jadi, Apa Artinya?
Fenomena brain rot bukan sekadar tren konyol TikTok. Ia adalah cerminan bagaimana otak Gen Alpha berkembang dalam era digital yang penuh stimulasi cepat. Konten yang absurd, visual yang glitchy, bisa jadi cara otak mereka untuk mencari hiburan, melepas stres, atau bahkan, secara tak sadar, melatih cara mereka memproses informasi.
Apakah ini hal yang buruk? Tidak selalu. Tapi penting bagi kita (orang tua, pendidik, atau bahkan content creator) untuk memahami konteks di balik selera digital mereka. Dengan begitu, kita bisa menciptakan ruang digital yang menghibur dan tetap sehat untuk dikonsumsi anak-anak secara mental dan emosional.
Nah, bagi Anda content creator atau KOL yang sudah memiliki cukup banyak followers dan siap untuk di endorse brand, pastinya Anda memerlukan rate card profesional. Nah, dari pada bingung menentukan rate card, Anda bisa membuatnya di KOL.ID.
Platform ini menyediakan tools untuk buat rate card di berbagai media sosial, seperti Instagram, TikTok, ataupun YouTube. Anda dapat mengetahui rate card Anda sesuai dengan performa akun sehingga tidak perlu khawatir rate card Anda terlalu murah. Langsung saja buat rate card di KOL.ID dan jalin kerja sama dengan brand terbaik!