Brand

Low Stimulation Content, Solusi dari Digital Fatigue di Media Sosial

watch-icon 3 min. to read
Low Stimulation Content, Solusi dari Digital Fatigue di Media Sosial
ON THIS PAGE

Pernahkah Anda membuka aplikasi seperti YouTube atau TikTok dan secara sengaja mencari konten yang repetitif? Contoh mudahnya, konten seseorang membersihkan karpet, mencuci mobil, merapikan dapur, atau deep cleaning alat elektronik. Konten yang ditampilkan tentu jauh berbeda dengan konten di media sosial pada umumnya.

Visual yang stabil, minim suara, dan tanpa narasi adalah ciri khas dari konten tersebut. Alih-alih menggunakan sound yang viral, konten ini benar-benar menampilkan aktivitas yang monoton. Anda, sebagai audiens, disuguhkan suara vacuum cleaner, suara sikat, atau suara air yang membersihkan benda-benda.

Sebagaimana konten pada umumnya, konten ini punya prime time-nya sendiri dan punya alasan tersendiri. Banyak audiens memilih konten ini untuk membantu tidur, menemani bekerja, atau sekadar memberi jeda dari rasa lelah bermain di dunia digital. Salah satu alasannya adalah konten ini menarik perhatian karena alurnya yang menenangkan. Anda tidak perlu menelan gerakan heboh atau mendengar sound yang ramai dari video yang Anda tonton.

Konten seperti ini dikenal sebagai Low Stimulation Content. Low stimulation content muncul sebagai solusi terhadap tingginya paparan stimulasi digital yang dialami banyak pengguna media sosial. Di tengah laju informasi yang terlalu cepat dan visual yang mungkin berlebihan, low stimulation content menawarkan ruang untuk memperlambat dan hadir secara lebih sadar.

Low Stimulation Content: Sederhana dengan Efek yang Signifikan

Jenis konten seperti "carpet cleaning", "car deep washing", atau "room reset" kini mendapat tempat tersendiri di berbagai platform. Meskipun tidak menawarkan narasi kuat atau editing yang memukau, pola visual yang konsisten dan hasil akhir yang rapi memberikan rasa puas sekaligus efek menenangkan bagi penonton.

Fenomena ini menunjukkan bahwa audiens tidak selalu mencari konten yang penuh energi atau bersifat hiperaktif. Sebaliknya, audiens punya kecenderungan lebih condong kepada konten yang dapat memberi kenyamanan, baik secara visual maupun emosional.

Jika ditelisik lebih jauh, low stimulation content lebih akrab dikenal sebagai salah satu jenis konten untuk anak-anak. Garis besarnya sama, konten berjalan ‘pelan’ dan lebih tenang. Dikutip dari mother.ly, show atau konten dengan potongan yang cepat, cahaya yang intens, dan suara yang keras dapat menciptakan pengaruh hiperaktif, attention span yang singkat, bahkan kesulitan dalam mengatur emosi.

Semakin slow pace sebuah konten, maka semakin baik bagi perkembangan anak. Sayangnya, berdasarkan studi yang diterbitkan pada Frontiers in Developmental Psychology oleh Henderson et al. (2024), analisis terhadap 426 video YouTube yang disukai oleh anak-anak usia 0-3 tahun menunjukkan bahwa hanya 27% dari video tersebut yang memiliki tempo lambat. 

Artinya, sekitar 73% dari video yang ditonton oleh anak-anak dalam kelompok usia tersebut justru memiliki tempo yang cepat. Studi juga menemukan bahwa sebagian besar video yang ditonton oleh anak-anak tidak sesuai dengan usia, hanya 19% yang dianggap sesuai.

Data lainnya yang didapatkan dari Teacher Horizons melalui blog berjudul ‘Screen Time and Mental Health: How fast-paced media is harming our children’s development’, menunjukkan bahwa banyak show populer untuk anak yang termasuk fast-paced, dengan perpindahan adegan yang cepat, rangsangan sensorik yang berlebihan, dan konten yang didesain untuk membuat anak tetap fokus tapi bukan untuk memberikan informasi atau edukasi.

Nyatanya, low stimulation content tetap dibutuhkan oleh seseorang bahkan saat menjadi seorang dewasa.

Mengapa Low Stimulation Content Menjadi Relevan?

Menurut laporan Deloitte (2022), lebih dari 30% Gen Z menyatakan sering merasa kewalahan saat mengakses media sosial. Gempuran informasi dan konten yang terlalu ‘seru’ justru bisa membuat seseorang merasa lelah. Low stimulation content seperti membersihkan barang hingga ASMR jadi solusinya.

Dalam konteks ini, kesederhanaan bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Durasi yang panjang dan tempo yang lambat justru membuat audiens bertahan lebih lama, merasa nyaman, dan lebih mudah terhubung secara emosional dengan konten tersebut.

Konten dengan pace yang lambat jadi safe zone audiens yang merasa lelah akan konten yang ramai dengan berbagai editing atau informasi. Jadi, wajar saja jika konten yang lambat semakin populer. Dilansir dari Bustle.com, topik slow living memiliki lebih dari 240.000 postingan terkait yang menampilkan gaya hidup yang lebih lambat. Secara tidak langsung, konten ini mengajak audiens untuk melambatkan ritme hidup yang seringkali terpaksa cepat.

Video seperti ASMR tidak hanya dapat memunculkan rasa puas, tapi memang punya dampak yang baik untuk kenyamanan dan relaksasi. Laporan dari Revealing Reality (2025) menunjukkan bahwa semakin banyak orang dewasa muda yang beralih ke video ASMR saat sudah merasakan lelah dan kewalahan dengan interaksi secara offline

Pada sisi lain, platform seperti YouTube dan TikTok dipenuhi dengan ribuah video visceral atau video yang dirancang untuk memicu reaksi dari penonton. Para content creator Autonomus Sensory Meridian Response (ASMR) cukup menampilkan konten yang simple, seperti bermain dengan slime yang kenyal.

Jadi, terlalu lama menikmati konten yang ramai atau stand by di depan perangkat Anda bisa menyebabkan rasa lelah, atau dikenal dengan istilah digital fatigue.

Digital Fatigue

Fenomena digital fatigue menjadi salah satu latar utama di balik meningkatnya minat terhadap low stimulation content. Paparan terus-menerus terhadap konten yang cepat, ramai, dan intensif secara visual menyebabkan kelelahan secara kognitif. Audiens menjadi lebih selektif dan cenderung menghindari konten yang dirasa "too much”.

Low stimulation content menawarkan alternatif. Konten jenis ini tidak membebani, tidak menuntut reaksi, dan tidak menimbulkan rasa fear of missing out alias FOMO. Sebaliknya, tercipta ruang bagi audiens untuk menikmati tanpa tekanan.

Laporan dari World Metrics menunjukkan bahwa 91% orang Amerika percaya bahwa penggunaan teknologi secara berlebih bisa memberikan dampak yang negatif terhadap kesehatan mental. Sejalan dengan itu, laporan dari Eos Global Expansion menunjukkan kelelahan digital dapat menyebabkan masalah yang serius. Mulai dari gangguan tidur, penurunan energi, bahkan nyeri dada. Selain itu, pergantian aplikasi yang konstan dapat mengurangi produktivitas sampai 45%.

Setidaknya, terdapat dua generasi yang cukup terdampak akan konsumsi konten yang berlebih. Setidaknya, begitu menurut laporan dari Life Management Science Labs yang menunjukkan bahwa sekitar 47% milenial dan 42% Gen Z mengalami digital fatigue dalam 30 hari terakhir. Hal ini menjadi petunjuk bahwa generasi muda sangat terpengaruh oleh penggunaan teknologi yang berlebihan.

Pergeseran Pola Konsumsi Konten

Pergeseran ini menunjukkan bahwa preferensi audiens mulai berubah. Dulu, konten dengan ritme cepat dan visual mencolok dianggap paling efektif untuk menarik perhatian. Namun kini, banyak audiens justru mulai beralih, atau setidaknya memiliki tempat tersendiri untuk konten yang menawarkan ketenangan, repetisi, dan stabilitas.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan ini:

  • Meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental

  • Kebutuhan untuk melakukan digital detox, baik secara sadar maupun tidak

  • Keinginan untuk menghindari overstimulasi dan kejenuhan

Low stimulation content menjawab kebutuhan tersebut tanpa harus menggurui atau terlalu instruktif.

Langkah Strategis bagi Brand dan Content Creator

Bagi brand dan content strategist, situasi ini adalah peluang untuk mengambil approach atau menyusun strategi yang lebih reflektif. Konten low stimulation dapat digunakan untuk:

Beberapa brand seperti IKEA telah memanfaatkan cara ini secara konsisten. Brand tersebut tidak hanya menjual produk, tetapi juga menawarkan experience yang menyatu dengan nilai brand yang sederhana, tenang, dan terkurasi. Secara garis besar, brand bisa mengambil kesimpulan bahwa konten yang calm, minimalis dan tidak overstimulating bisa menjadi salah satu strategi penting dan menjadi ciri khas yang bisa diingat.

Low stimulation content bukan sekadar tren sesaat. Jenis konten ini mencerminkan perubahan cara kita berinteraksi dengan konten dan platform digital. Dalam dunia yang terus berkembang, kemampuan untuk melambat menjadi nilai yang semakin relevan.

Untuk Anda yang berkutat di bidang marketing dan konten, penting untuk tidak hanya mempertimbangkan daya tarik visual, tetapi juga bagaimana konten dapat menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi audiens. Kadang, yang dibutuhkan bukan lebih banyak stimulasi, melainkan lebih banyak ruang untuk bernapas. Di sisi lain, jika Anda ingin cek rate card KOL di berbagai media sosial seperti Instagram, TikTok dan YouTube, Anda bisa langsung cek melalui KOL.ID. Dengan langkah yang mudah, Anda bisa langsung mengetahui KOL yang tepat untuk kebutuhan Anda!

Rate this article

Click on a star below to rate our tool out of 5 stars

Average rating 5 / 5. Vote count: 55

Thank you for your rating!

share this article

review-img
Fajar - Manager KOL.ID

Hi, I'm Fajar! I’m passionate about connecting brands with KOLs who build trust and shape consumer choices. With expertise in KOL marketing and a focus on trends, I create partnerships that strengthen brand stories and drive growth.

Tags:

Post You’ve Might Like

Empower your brand's
growth journey with KOL.ID

Equip yourself with an all-inclusive suite of tools for initiating and expanding influencer marketing campaigns.

Try KOL.ID for Free
  • Followers

    500k+1.50%

  • Avg. Likes

    20M+0.50%

  • Avg. Comments

    60K+2.10%

@skkky_hi

Reach

How helpful was this content?

Click on a star below to rate our tool out of 5 stars

Average rating 5 / 5. Vote count: 55

Thank you for your rating!

Newsletter

Be the first one to know about discounts, offers and events