Alih-alih hanya melihat brand dari sisi produk atau promosi, konsumen kini menaruh perhatian pada keterhubungan. Mereka mencari pengalaman yang membuat merasa dilibatkan. Inilah alasan strategi berbasis community mulai dianggap sebagai pendekatan penting dalam membangun engagement.
Menurut laporan Harvard Business Review, perusahaan yang berhasil membangun community aktif dapat meningkatkan loyalitas pelanggan hingga 66 persen lebih tinggi dibandingkan brand tanpa pendekatan serupa. Artinya, community bukan sekadar fitur tambahan, melainkan strategi inti dalam memperkuat hubungan jangka panjang.
Mengapa Community Penting untuk Engagement Brand?

Ada beberapa alasan mengapa community menjadi kunci dalam membangun engagement yang lebih dalam.
1. Rasa Memiliki yang Lebih Kuat
Community memberi ruang bagi konsumen untuk merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Menurut data CMX Hub, 86 persen perusahaan percaya community membantu meningkatkan pengalaman pelanggan. Keterikatan emosional ini mendorong loyalitas yang sulit dibangun hanya dengan promosi.
2. Engagement yang Lebih Otentik
Jika iklan cenderung bersifat satu arah, community menghadirkan interaksi yang lebih alami. Brand hadir bukan hanya untuk menyampaikan pesan, tetapi juga memfasilitasi percakapan. Engagement semacam ini terasa lebih organik dan membangun kepercayaan yang lebih kuat.
3. Sumber Insight yang Bernilai
Community juga menjadi wadah penting untuk memahami konsumen. Deloitte mencatat bahwa brand yang aktif memanfaatkan community bisa mempercepat inovasi produk berkat feedback langsung dari pengguna. Informasi semacam ini jauh lebih relevan dibanding riset secara tradisional.
Baca juga: Listing KOL Bikin Burnout? Ini Cara Mencari KOL yang Tepat untuk Campaign dengan Mudah
Bentuk Strategi Community yang Efektif

Membangun community bukan soal membuat ruang digital lalu menunggu orang bergabung. Ada strategi yang perlu diterapkan agar engagement benar-benar terwujud.
1. Fokus pada Value yang Ditawarkan
Community bisa kurang efektif jika hanya berisi promosi. Konsumen butuh nilai nyata seperti edukasi, akses yang eksklusif, atau ruang diskusi yang relevan dengan kebutuhan para konsumen. Value inilah yang membuat anggota bertahan.
2. Bangun Ruang untuk Interaksi
Media sosial bisa jadi pintu masuk, dan brand bisa ikut mengembangkan ruang interaksi yang lebih. Media sosial bisa menjadi pintu masuk dan brand bisa ikut mengembangkan ruang interaksi yang lebih terfokus, misalnya forum komunitas khusus, aplikasi untuk member, atau acara gabungan online dan offline. Menurut laporan Sprout Social, 62 persen konsumen merasa lebih loyal terhadap brand yang menyediakan ruang interaksi terbuka dan membuat semua konsumen merasa dilibatkan.
3. Manfaatkan Brand Advocate
Anggota community yang aktif bisa berperan sebagai advocate. Mereka bukan hanya menjaga percakapan tetap hidup, tetapi juga memberi validasi sosial bahwa brand layak diikuti. Kehadiran advocate memperkuat otentisitas dan memperluas jangkauan.
Tantangan dalam Membangun Community

Meski menjanjikan, membangun community tetap penuh tantangan.
Konsistensi
Community tidak bisa tumbuh begitu saja setelah dibuat. Diperlukan perhatian berkelanjutan, mulai dari menjaga percakapan tetap aktif, memberi respon yang cepat, hingga menghadirkan aktivitas rutin yang relevan. Tanpa konsistensi, anggota akan merasa ditinggalkan dan perlahan berhenti terlibat. Inilah alasan banyak brand gagal mempertahankan community yang sudah terbentuk.
Ekspektasi Anggota
Setiap anggota punya alasan berbeda ketika bergabung. Ada yang ingin mencari informasi, ada yang datang untuk berbagi pengalaman, dan ada juga yang sekadar ingin merasa menjadi bagian dari community. Tantangan bagi brand adalah menemukan cara agar semua kebutuhan ini bisa terakomodasi. Jika hanya fokus pada satu sisi, risiko munculnya kekecewaan dari anggota lain semakin besar.
Tetap Otentik
Hubungan tidak akan bertahan jika terasa dibuat-buat. Konsumen bisa dengan mudah menilai apakah sebuah brand benar-benar peduli atau sekadar formalitas. Karena itu, interaksi perlu dilakukan secara jujur, terbuka, dan apa adanya. Menanggapi masukan dengan tulus, menjawab pertanyaan secara jelas, atau mengakui kekurangan adalah bentuk otentisitas yang justru memperkuat kepercayaan anggota.
Baca juga: Perbedaan Perilaku Belanja Online Gen Z dan Milenial, Platform Mana yang Jadi Favorit?
Masa Depan Community sebagai Bagian Strategi Marketing
Peran community akan semakin penting seiring tren zero-click content dan social-first search. Konsumen kini lebih banyak berinteraksi di ruang privat seperti Discord, WhatsApp, atau group khusus ketimbang di mesin pencari.
Brand perlu menempatkan community bukan hanya sebagai kanal tambahan, melainkan sebagai ekosistem engagement jangka panjang. Forrester menekankan bahwa keberhasilan community tidak diukur dari jumlah anggota, melainkan dari kualitas hubungan yang tercipta. Anggota yang merasa terhubung dengan brand akan menjadi pelanggan setia sekaligus promotor alami.
Dalam konteks digital, kolaborasi dengan kreator juga memainkan peran penting. Cek rate card KOL TikTok/IG/YouTube di platform seperti KOL.ID untuk memahami niche dan strategi content creator. Kanal populer seperti TikTok, Instagram, dan YouTube kini menjadi ruang interaksi utama yang dapat dipadukan dengan strategi community.
Community strategy adalah jalan pintas untuk membangun engagement yang lebih authentic antara brand dan konsumen. Dengan memberikan value nyata, menyediakan ruang interaksi yang relevan, dan menjaga keaslian, brand dapat memanfaatkan community sebagai aset berkelanjutan. Tantangan tentu ada, tetapi dengan konsistensi dan fokus pada hubungan yang bermakna, community mampu menjadi fondasi engagement jangka panjang.