Buat Rate Card Tiktok Buat Rate Card Instagram Buat Rate Card Youtube
Buat MoU Otomatis Cek ER KOL Tiktok Cek ER KOL Instagram Cek ER KOL YouTube Download Video Tiktok Download Video Instagram Download Video Youtube Kamus KOL
Ranking KOL Tiktok Ranking KOL Instagram Ranking KOL Youtube Cek Rate Card KOL Tiktok Cek Rate Card KOL Instagram Cek Rate Card KOL Youtube Campaign Report KOL Management Extensions KOL.ID
Login Register
HOME › Digital Marketing › Memahami Messy Middle, Ini Cara Menghadapi Fase Penting dalam Customer Journey

Memahami Messy Middle, Ini Cara Menghadapi Fase Penting dalam Customer Journey

Hero image of a city skyline at night

Perjalanan konsumen dalam mengambil keputusan pembelian saat ini semakin rumit. Jika dulu orang hanya perlu melihat iklan di televisi atau membaca brosur sebelum membeli, kini prosesnya jauh lebih panjang karena mereka bisa membandingkan produk lainnya di media sosial dengan sangat mudah. 

Kehadiran internet dan media sosial membuat konsumen bisa mengakses informasi tanpa batas. Setiap produk atau layanan bisa ditelusuri secara mendalam, dibandingkan dengan berbagai brand lainnya, bahkan diuji validitasnya melalui ulasan orang lain.

Di era digital, konsumen tidak lagi sekedar melihat satu pilihan lalu langsung membeli. Mereka dihadapkan pada beragam informasi, opini, dan rekomendasi yang bisa memengaruhi keputusan akhir. Di sinilah muncul konsep dalam marketing modern yaitu “Messy Middle”. 

Fase ini akan menentukan apakah konsumen akhirnya akan memilih produk Anda atau justru beralih ke kompetitor? Nah, penasaran apa yang dimaksud dengan messy middle? Dan bagaimana cara brand menghadapinya? Yuk, simak penjelasan di bawah ini! 

Apa Itu Messy Middle?

Messy middle adalah istilah yang menggambarkan fase konsumen berada di tahap tengah perjalanan sebelum membeli sesuatu, di mana ia sudah mengetahui produk atau brand yang ingin dibeli, tetapi keputusan pembeliannya belum dilakukan. Jadi singkatnya, messy middle itu fase ketika orang sudah tahu barangnya, tapi belum yakin mau beli yang mana. Berikut contoh diagram tentang messy middle:

Titik awal konsumen memiliki ketertarikan atau punya kebutuhan karena ada trigger, seperti melihat iklan, konten influencer atau KOL, atau review product di artikel. Nah, setelah konsumen ke-trigger, mereka akan memasuki fase messy middle, yaitu Exploration dan Evaluation. Mereka bisa bolak-balik ke dua fase itu sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk membeli barang. 

Contohnya begini, ada seseorang melihat iklan smartphone android terbaru. Iklan itu menjadi “pemicu” (trigger). Namun, alih-alih langsung membeli, konsumen masuk ke fase messy middle. Mereka mulai mencari (exploration) ulasan di YouTube, melihat rekomendasi konten dari influencer dan KOL, membaca artikel di blog teknologi, membuka marketplace untuk melihat harga, lalu membandingkan dan mengevaluasi (evaluation) produk dari segala aspek seperti harga dan kualitas, sebelum membeli barang tersebut. 

Messy middle adalah fase di mana konsumen bisa dengan mudah berpindah dari satu brand ke brand lain. Itulah mengapa brand perlu benar-benar hadir dan relevan agar tidak kehilangan peluang di tengah proses ini.

Mengapa Messy Middle Penting Diketahui oleh Brand?

Messy middle dianggap sebagai fase paling lama dan paling menentukan dalam perjalanan konsumen. Pada tahap ini, semua interaksi digital yang dilakukan konsumen, mulai dari membaca review, melihat iklan retargeting, hingga menonton video influencer, akan memengaruhi pilihan akhir mereka.

Bagi brand, fase ini ibarat medan persaingan terbuka. Konsumen bisa saja awalnya tertarik pada produk Anda, tetapi jika brand lain tampil lebih meyakinkan di fase evaluasi, mereka berpotensi kehilangan minat. Sebaliknya, brand yang berhasil meyakinkan konsumen di messy middle justru bisa memenangkan pelanggan baru, meskipun awalnya bukan pilihan utama.

Pola Perilaku Konsumen dalam Messy Middle

Berdasarkan research Google yang berjudul “Decoding Decisions: Making Sense of the Messy Middle”, ada beberapa pola perilaku konsumen yang harus diketahui brand agar bisa merancang strategi marketing yang tepat. Diantaranya yaitu:

1. Category Heuristic 

Konsumen menyukai informasi sederhana atau label yang membantu konsumen membandingkan produk dengan cepat. Misalnya, saat orang sedang memilih makanan, lalu ada “sertifikasi halal”, ini mempercepat keputusan pembelian mereka. Jadi, tanpa menimbang terlalu banyak faktor, konsumen cukup pakai "aturan praktis" ini untuk memutuskan mana produk yang dipilih.

2. Authority Bias 

Konsumen cenderung lebih percaya dan mengikuti pendapat orang yang dianggap ahli atau berpengaruh. Misalnya, kalau dokter kulit merekomendasikan skincare tertentu, banyak orang akan lebih yakin untuk membelinya. 

Baca juga: 10 Influencer Dokter Skincare Paling Populer di Indonesia 

3. Social Proof 

Konsumen lebih menyukai produk atau barang yang sudah banyak review positif dari pengguna atau influencer yang dipercaya. Brand yang bekerja sama dengan akun Instagram, TikTok, atau YouTube terpopuler di niche yang sesuai dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih cepat mengambil keputusan pembelian ketika melihat bukti sosial yang ada. 

4. Power of Now 

Konsumen cenderung ingin sesuatu dengan cepat, bahkan segera. Karena itu, layanan seperti pengiriman 24 jam, instant download, atau fast food laris manis. Ini terjadi karena manusia pada dasarnya lebih fokus pada kebutuhan saat ini ketimbang menunggu untuk manfaat jangka panjang.

5. Scarcity Bias 

Konsumen semakin menyukai barang yang stoknya semakin terbatas. Konsumen akan merasa “takut ketinggalan” jika stok produk terbatas atau ada promo dengan waktu singkat. Misalnya, tulisan “Hanya tersisa 2 item lagi” atau “Promo berakhir 1 jam lagi” bisa mendorong orang untuk segera membeli agar tidak kehilangan kesempatan.

6. Power of Free 

Siapa konsumen yang tidak suka produk “free”? Bahkan jika pilihan lain lebih menguntungkan, orang sering tetap memilih yang gratis. Contohnya, saat ada promo “beli 1 dapat 1 gratis”, meski sebenarnya nilai produk kedua bisa saja kecil. Kata “gratis” memicu emosi senang yang membuat konsumen lebih cepat mengambil keputusan tanpa banyak berpikir.

Strategi Menghadapi Messy Middle untuk Brand

Setelah mengetahui pola perilaku konsumen di fase messy middle, apa yang bisa dilakukan brand untuk menghadapinya? Jika brand ingin memenangkan hati konsumen di fase ini, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan:

1. Optimalkan Kehadiran Brand Anda 

Pastikan brand Anda mudah ditemukan di berbagai kanal digital. Mulai dari SEO (agar mudah muncul di mesin pencari), konten berkualitas di blog, berbagai media sosial, hingga iklan yang tepat sasaran. Semakin sering brand Anda hadir di hadapan konsumen, semakin besar peluang untuk diingat. 

2. Perkuat Social Proof

Konsumen modern sangat dipengaruhi oleh pendapat orang lain dibandingkan sekedar klaim dari brand.  Jadi, ketika seseorang ragu memilih produk A atau B, mereka sering melihat apa kata orang lain, apakah banyak yang sudah membeli, puas, dan merekomendasikannya. Inilah mengapa bekerja sama dengan influencer dan KOL untuk mempromosikan brand adalah strategi marketing yang menjanjikan di era sekarang. Ulasan positif, testimoni pengguna, hingga rekomendasi influencer akan meningkatkan kepercayaan. Pastikan konsumen bisa dengan mudah menemukan social proof ini ketika melakukan riset.

Baca juga: Cara Bangun Social Proof Lewat KOL agar Brand Lebih Dipercaya Konsumen, Ini Tipsnya!

3. Gunakan Prinsip Psikologi Konsumen

Dalam dunia marketing, keputusan konten tidak selalu terjadi karena logika semata. Ada banyak pemicu psikologis yang bisa membuat mereka lebih cepat yakin untuk membeli produk Anda. Seperti Scarcity, di mana manusia cenderung takut kehilangan sesuatu yang terbatas. Itulah mengapa pesan seperti “Hanya tersisa 2 produk!” atau “Promo berakhir malam ini” sangat efektif.

4. Sederhanakan Proses Pembelian

Banyak konsumen yang sebenarnya sudah ingin membeli, tapi akhirnya batal karena proses checkout terlalu ribet. Misalnya harus isi banyak data, login ulang, atau biaya tambahan yang baru muncul di akhir. Hambatan-hambatan kecil seperti ini bisa membuat konsumen menunda, bahkan pindah ke kompetitor. Maka dari itu, brand harus memastikan bahwa alu pembelian sederhana, jelas, dan transparan. 

Contoh Strategi Brand untuk Menghadapi Messy Middle 

Untuk lebih memahaminya, berikut beberapa contoh strategi yang dilakukan beberapa brand untuk menghadapi fase messy middle konsumen, yaitu: 

1. Hanasui - Authority Bias 

Hanasui berhasil memanfaatkan authority bias untuk meningkatkan kredibilitas produknya. Salah satunya melalui konten review dari dr. Yessica Tania, seorang dokter sekaligus influencer yang fokus pada edukasi skincare. Rekomendasi dari seorang pakar memberikan brand trust yang signifikan, karena konsumen merasa produk yang dipilih sudah terjamin secara medis, bukan sekadar promosi.

Strategi ini efektif di fase Messy Middle, ketika konsumen masih bimbang antara banyak pilihan skincare. Dengan adanya validasi dari dokter, konsumen lebih cepat mengambil keputusan karena mereka menganggap produk Hanasui lebih aman dan terpercaya. Anda bisa cek kontennya di bawah ini! 

@dr.ziee Udah makin ga ngotak inovasi skincare jaman sekarang. Korea sih paling bikin greget! Yang lagi cari cara buat bikin kulit lembab tapi ga kerasa berat sekaligus on budget alias ramah kantong harus tau ini sih! Kebanyakan org indonesia terutama tuh pengennya cari yang lembab tapi ringan nah ini kayaknya pas sih menurut aku. Apalagi yang kulitnya ga ada problem apa apa tapi cm pengen ngemaintain aja bisa perhatikan skin barrier sama microbioma kulit kayak yang ada disini juga. Kebetulan banget yang pake ini tuh brand yang namanya lagi hits akhir tahun 2024 ini. Menurut kamu gimana produknya yang ini? #moisturizer #kimchi #hanasui @Hanasui Official ♬ original sound - dr. Yessica Tania - dr. Yessica Tania,dpl AAAM

2. Shopee - The Power of Free & The Power of Now

Shopee adalah contoh nyata brand yang memanfaatkan psikologi konsumen lewat dua strategi andalan, yaitu “The Power of Free” melalui program gratis ongkir dan “The Power of Now” dari Shopee Express. Program “Gratis Ongkir” menjadi daya tarik besar karena konsumen agar mendapat keuntungan lebih saat belanja. 

Sedangkan, Shopee Express memberikan service pengiriman kilat sehingga paket akan sampai dengan cepat. Kombinasi “gratis + cepat” inilah yang membuat konsumen berhenti membandingkan shopee terlalu lama dengan e-commerce lain, dan langsung melakukan pembelian. 

3. Timephoria – Social Proof

Brand lokal Timephoria menggunakan strategi social proof dengan menggandeng beauty influencer besar, Tasya Farasya, untuk mereview produk seperti Lip Velvet dan Lip Tint Nebula. Tasya dikenal punya audiens yang sangat loyal dan percaya pada rekomendasinya, karena ia konsisten memberi review jujur dan detail.

Kolaborasi ini menciptakan efek trust transfer, kepercayaan yang dimiliki audiens pada Tasya ikut berpindah ke produk Timephoria. Hasilnya, konsumen yang tadinya ragu-ragu atau masih bingung mau beli produk lip yang mana,  jadi lebih yakin mencoba Timephoria karena sudah di-review oleh beauty influencer populer. 

@tasyafarasya

ya maap selera orang beda2 yah kalo aku si teeam lip velvetnya timephoria, lipstainnya oke tp masi ada effort dulu kalo mau pake walaupun nikkie tutorials suka wkwkwkk. Kalo kalian team velvet atau lipstainnya?

♬ original sound - Tasya Farasya

Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa untuk menghadapi fase messy middle, brand perlu cerdas menggunakan strategi yang bisa membuat konsumen tidak ragu dan akhirnya membuat keputusan pembelian pada brand Anda dengan cepat. 

Jika brand Anda mampu memahami perilaku konsumen dalam fase ini, menghadirkan informasi yang relevan, memperkuat social proof, serta menyederhanakan proses pembelian, maka peluang untuk memenangkan hati konsumen akan semakin besar.

Untuk menggunakan strategi social proof atau authority bias, Anda bisa berkolaborasi dengan influencer populer di Indonesia dengan cek rate card mereka di KOL.ID. Platform ini memberikan kemudahan bagi brand untuk mengetahui rate card influencer target di Instagram, TikTok, ataupun YouTube sesuai performance akun. Segera cek rate card di KOL.ID dan temukan influencer yang bisa meyakinkan konsumen untuk memilih produk Anda!